BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Hadits
merupakan sumber hukum Islam yang kedua setelah Al-Quran yang disandarkan
kepada Nabi SAW. baik berupa perkataan, perbuatan, maupun ketetapan Nabi dalam
setiap persoalan yang dihadapi oleh umat Islam.
Walaupun demikian, mengambil hadits sebagai hujjah atau dasar atas
setiap perbuatan dan amalan kita tidaklah semudah berdalil dengan Al-Quran,
sebab Al-Quran merupakan firman Allah yang tingkat kebenarannya mutlak dan
pasti.
Sementara
hadits, walaupun pada dasarnya disandarkan kepada Rasulullah saw, namun dalam
hal penetapannya sebagai hujjah tetap saja diperlukan perhatian khusus. Karena
tidak semua hadits memiliki kekuatan hujjah yang sama.
Membicarakan
sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadits bertujuan untuk mengangkat fakta
dan peristiwa yang terjadi pada masa Rasulallah SAW, kemudian secara periodik
pada masa-masa sahabat dan tabi’in.
B.
Rumusan
masalah
1.
Bagaimana
periodesasi perkembangan hadist?
2.
Bagaimana
penulisan dan penghafalan hadist?
3.
Apa
penyebab timbulnya pemalsuan dan upaya penyelamatan hadist?
C.
Tujuan
Penulisan
1.
Untuk
mengetahui sejarah periodesasi perkembangan hadist
2.
Untuk
mengetahui penulisan dan penghafalan hadist
3.
Untuk
mengetahui penyebab timbulnya pemalsuan dan upaya penyelamatan hadist
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah
Periodesasi Perkembangan Hadist
1.
PERIODE
NABI MUHAMMAD SAW (13 SH – 11 H)
a.
Masa
Pertumbuhan Hadis dan Cara Para Sahabat Memperolehnya
Rasul
hidup di tengah-tengah masyarakat sahabatnya. Mereka dapat bertemu dan bergaul
dengan beliau secara bebas. Tidak ada ketentuan protokol yang menghalangi
mereka bergaul dengan beliau. Yang tidak dibenarkan, hanyalah mereka langsung
masuk ke rumah Nabi, ketika beliau tidak ada di rumah, dan berbicara dengan
para istri Nabi tanpa hijab. Nabi saw bergaul dengan mereka di rumah, di
masjid, di pasar, di jalan, di dalam safar dan di dalam hadhar.
Nabi
sebagai sumber hadis menjadi figur sentral yang mendapat perhatian para
sahabat. Segala aktivitas beliau seperti perkataan, perbuatan, dan segala
keputusan beliau diingat dan disampaikan kepada sahabat lain yang tidak
menyaksikannya, karena tidak seluruh sahabat dapat hadir di Majelis Nabi dan
tidak seluruhnya selalu menemani beliau.
Faktor
penyebab perhatian para sahabat kepada hadis atau sunnah Rasul menurut Ulama,
yaitu Nabi sebagai panutan yang baik (uswah hasanah) bagi umatnya, kandungan
beberapa ayat Alquran dan Hadis Rasulullah yang menganjurkan mereka menuntut
ilmu dan mengamalkannya, dan kesiapan mereka secara fithrah Arab yang memiliki
ingatan yang kuat untuk mengingat segala hal yang terjadi pada Rasulullah.
Para sahabat
menerima hadis (syari’ah) dari Rasul saw, adakalanya secara:
1)
Langsung,
yakni mereka langsung mendengar sendiri dari Nabi, baik karena ada sesuatu
persoalan yang diajukan oleh seseorang lalu Nabi saw menjawabnya, ataupun
karena Nabi sendiri yang memulai pembicaraan.
2)
Tidak
Langsung, yakni mereka menerima dari sesama sahabat yang telah menerima dari
Nabi, atau mereka menyuruh seseorang bertanya kepada Nabi jika mereka sendiri
malu untuk bertanya.
b.
Para
Sahabat tidak Sederajat dalam Mengetahui Keadaan Rasul
Semua
sahabat, umumnya menerima hadis dari Nabi saw. Namun, dalam hal ini, para
sahabat tidak sederajat dalam mengetahui keadaan Rasul. Ada yang tinggal di
kota, di dusun, berniaga, bertukang. Ada yang sering berada di kota, ada pula
yang sering bepergian, ada yang terus menerus beribadat, tinggal di masjid
tidak bekerja. Nabi pun tidak selalu mengadakan ceramah terbuka. Kadang-kadang
saja beliau melakukan yang demikian.
Ceramah terbuka
diberikan beliau hanya tiap-tiap hari Jum’at, hari raya dan waktu-waktu yang
tidak ditentukan, jika keadaan menghendaki.
c.
Sebab-sebab
Hadis tidak Ditulis setiap kali Nabi saw Menyampaikannya
Hadis
dan sunnah,walaupun sumber yang penting pula dari sumber-sumber tasyri’, tidak
memperoleh perhatian yang demikian. Hadis dan sunnah tidak ditulis secara
resmi, tidak diperintahkan orang menulisnya sebagaimana perintah menuliskan
Al-Qur’an.
Boleh
jadi, perbedaan-perbedaan perhatian dan tidak membukukan hadis disebabkan oleh
faktor-faktor berikut ini:
1)
Men-tadwin-kan
(membukukan) ucapan, amalan, serta muamalah Nabi adalah suatu hal yang sukar,
karena memerlukan adanya segolongan sahabat yang terus-menerus harus menyertai
Nabi untuk menulis segala yang tersebut di atas, padahal orang-orang yang dapat
menulis pada masa itu masih dapat dihitung.
2)
Karena
orang Arab itu disebabkan mereka tidak pandai menulis dan membaca tulisan hanya
kuat berpegang kepada kekuatan hafalan dalam segala apa yang mereka ingin
menghafalnya.
3)
Dikhawatirkan
akan bercampur dalam catatan sebagian sabda Nabi dengan Al-Qur’an dengan tidak
sengaja.
d.
Kedudukan
Usaha Menulis Hadis di Masa Nabi saw
Ada
riwayat-riwayat yang menceritakan bahwa sebagian sahabat mempunyai shahifah
(lembaran-lembaran) yang tertulis hadis. Mereka membukukan sebagian hadis yang
mereka dengar dari Rasulullah saw . seperti shahifah Abdullah ibn Amr ibn Ash,
yang dinamai “Ash-Shadiqah”.
e.
Pembatalan
Larangan Menulis Hadis
Kebanyakan
ulama berpendapat bahwa larangan menulis hadis yang di-nasakh-kan oleh Hadis
Abu Said, di-mansukh-kan dengan izin yang datang sesudahnya.
2.
PERIODE
KHULAFA’RASYIDIN / MASA MEMBATASI RIWAYAT (12-98 H)
a.
Sikap
Sahabat terhadap Usaha Mengembangkan Hadis Sebelum dan Sesudah Nabi saw Wafat
Setelah
Nabi Muhammad saw wafat, para sahabat belum memikirkan penghimpunan dan
pengkodifikasian hadis, karena banyak problem yang dihadapi, diantaranya
timbulnya kelompok orang yang murtad, timbulnya peperangan sehingga banyak
penghafal Al-Qur’an yang gugur dan konsentrasi mereka bersama Abu Bakar dalam
membukukan Al-Qur’an.
Nabi
memerintahkan para sahabat supaya berhati-hati dan memeriksa benar-benar suatu
hadis yang hendak disampaikan kepada orang lain.
b.
Hadis
di Masa Abu Bakar dan Umar
Abu
Bakar pernah berkeinginan membukukan Hadis, tetapi digagalkan karena khawatir
terjadi fitnah di tangan orang-orang yang tidak dapat dipercaya. Umar bi
Al-Khattab juga pernah ingin mencoba menghimpunnya, tetapi dia khawatir dalam
pembukuan Hadis yakni tasyabbuh / menyerupai dengan ahli kitab, yaitu Yahudi
dan Nashrani yang meninggalkan kitab Allah dan menggantikannya dengan kalam
mereka dan menempatkan biografi para Nabi mereka di dalam kitab Tuhan mereka.
Umar khawatir umat Islam meninggalkan Alquran dan hanya membaca Hadis. Jadi, Abu
Bakar dan Umar tidak tidak berarti melarang pengodifikasian Hadis, tetapi
melihat kondisi pada masanya belum memungkinkan untuk itu.
Penyampaian
periwayatan dilakukan secara lisan dan hanya jika benar-benar diperlukan saja,
yaitu ketika umat Islam benar-benar memerlukan penjelasan hukum.
Kedua
khalifah di atas menerima hadis dari orang perorang dengan syarat disertai
saksi yang menguatkan. Bahkan Ali menerimanya jika disertai dengan
sumpah
disamping saksi. Oleh karena itu, pada masa Khulafa’ Ar-Rasyidin ini disebut
sebagai masa pembatasan periwayatan (taqlil ar-riwayah).
c.
Cara-cara
Para Sahabat Meriwayatkan Hadis
1)
Adakalanya
dengan lafal asli, yakni menurut lafal yang mereka terima dari Nabi yang mereka
hafal benar lafal dari Nabi itu.
2)
Adakalanya
dengan maknanya saja, yakni mereka meriwayatkan maknanya bukan lafalnya, karena
lafalnya yang asli lagi dari Nabi.
d.
Ketelitian
Para Sahabat dalam Menerima Hadis dari Sesama Sahabat
Sahabat
sangat berhati-hati dalam menerima Hadis. Mereka tidak menerimanya dari siapa
saja. Mereka mengetahui ada Hadis yang menghalalkan dan ada Hadis yang
mengharamkan dengan jalan “yakin” atau zhan yang kuat. Karena itu mereka
memperhatikan rawi atau marwi. Mereka tidak membanyakkan penerimaan Hadis,
sebagaimana tidak pula membanyakkan riwayat.
e.
Hadis
di Masa Utsman dan Ali
Ketika
kendali pemerintahan dipegang oleh Utsman dan dibuka pintu perlawatan kepada
para sahabat, umat mulai memerlukan keberadaan sahabat, terutama
sahabat-sahabat kecil. Sahabat-sahabat kecil kemudian bergerak mengumpulkan
Hadis dari sahabat-sahabat besar dan mulailah mereka meninggalkan tempat
kediamannya untuk mencari Hadis.
Pada
masa Ali, timbul perpecahan dikalangan umat Islam akibat konflik politik antara
pendukung Ali dan Mu’awiyah. Umat islam terpecah menjadi 3 golongan, yaitu
sebagai berikut:
1)
Khawarij
(golongan pemberontak yang tidak setuju dengan perdamaian dua kelompok yang
bertikai), yaitu kelompok ini semula mendukung Ali, kemudian mereka keluar
karena Ali menyetujui perdamaian.
2)
Syi’ah,
pendukung setia Ali.
3)
Jumhur
muslimin, yaitu di antara mereka ada yang mendukung pemerintahan Ali, ada yang
mendukung pemerintahan Mu’awiyah, dan ada pula yang netral.
f.
Sebab-sebab
Para Sahabat tidak Membukukan Hadis dan Mengumpulkannya dalam Sebuah Buku
Para
sahabat tidak mengumpulkan Sunnah-sunnah Rasulullah dalam sebuah mushaf
sebagaimana mereka telah mengumpulkan Al-Qur’an, karena sunnah –sunnah itu
telah tersebar dalam masyarakat dan tersembunyi yang dihafal dari yang tidak.
Karena itu, ahli-ahli sunnah menyerahkan perihal penukilan Hadis kepada
hafalan-hafalan mereka saja, tidak seperti halnya Al-Qur’an, mereka tidak
menyerahkan penukilannya secara demikian.”[1]
3. PERIODE TABI’IN
a.
Masa
Keseimbangan dan Meluas Periwayatan Hadis
Sesudah
masa Utsman dan Ali, timbullah usaha yang lebih serius untuk mencari dan
menghafal hadis serta menyebarkannya ke masyarakat luas dengan mengadakan
perlawatan-perlawatan untuk mencari hadis.
Pada
tahun 17 H, tentara Islam mengalahkan Syiria dan Iraq. Pada tahun 20 H,
mengalahkan Mesir. Pada tahun 21 H, mengalahkan Persia. Pada tahun 56 H,
tentara Islam sampai di Samarqand. Pada tahun 93 H, tentara Islam menaklukan
Spanyol. Para sahabat berpindah ke tempat-tempat itu. Kota-kota itu kemudian
menjadi “perguruan” tempat mengajarkan Al-Qur’an dan Al-Hadis yang menghasilkan
sarjana-sarjana tabi’in dalam bidang Hadis.
b.
Lawatan
Para Sahabat untuk Mencari Hadis
Dalam
fase ini, Hadis mulai disebarkan dan mulailah perhatian diberikan terhadapnya
dengan sempurna. Para tabi’in mulai memberikan perhatianyang sempurna kepada
para sahabat Para tabi’in berusaha menjumpai para sahabat ke tempat-tempat yang
jauh dan memindahkan hafalan mereka sebelum mereka berpulang ke Ar-Rafiq
al-A’la (sebelum meninggal). Demikian pula berita tentang kunjungan seorang
shahaby ke sebuah kota, sungguh menarik perhatian para tabi’in. Ketika
mengetahui kedatangan seorang shahaby, mereka berkumpul disekitarnya untuk
menerima Hadis yang ada pada shahaby tersebut.
c.
Jasa
Umar bin Abdul Aziz terhadap As-Sunnah pada Masa Tabi’in
Khalifah
Umar bin Abdul Aziz (99-101 H) yakni yang hidup pada akhir abad 1 H menganggap
perlu adanya penghimpunan dan pembukuan Hadis, karena beliau khawatir lenyapnya
ajaran-ajaran Nabi setelah wafatnya para ulama’ baik dikalangan sahabat atau
tabi’in, maka beliau intruksikan kepada para gubernur di seluruh negeri islam
agar para ulama’ dan ahli ilmu menghimpun dan membukukan Hadis.
Para
ahli sejarah dan ulama berkesimpulan bahwa Az-Zuhri adalah orang yang pertama
yang mengodifikasikan Hadis pada awal tahun 100 H di bawah khalifah Umar bin
Abdul Aziz.
Kemudian
aktivitas penghimpunan dan pengodifikasikan Hadis tersebut di negeri islam pada
abad ke-2 H. Penghimpunan Hadis pada abad ini masih bercampur dengan perkataan
sahabat dan fatwanya. Berbeda dengan penulisan pada abad sebelumnya yang masih
berbentuk lembaran-lembaran yang hanya dikumpulkan tanpa klasifikasi kedalam
beberapa bab secara tertib.
4.
PERIODE
TABI’TABI’IN
Periode
tabi’tabi’in, artinya periode pengikut tabi’in, yaitu pada abad ke- 3 H yang
disebut ulama dahulu/ salaf/ mutaqaddimin. Sedangkan ulama pada abad
berikutnya, abad ke- 4 H dan setelahnya disebut ulama belakangan/ khalaf/
muta’akhirin. Pada periode abad ke- 3 H ini disebut Masa Kejayaan Sunnah atau
disebut Masa Keemasan Sunnah, karena pada masa ini kegiatan rihlah mencari ilmu
dan sunnah serta pembukuannya mengalami puncak keberhasilan yang luar biasa.
Seolah-olah
pada periode ini seluruh hadis telah terhimpun semuanya dan pada abad
berikutnya tidak mengalami perkembangan yang signifikan. Maka lahirlah Buku
Induk Hadis Enam (Ummahat Kutub As-Sittah), yaitu buku hadis Sunan, Al-Jami’
Ash-Shahih yang dipedomani oleh umat Islam dan buku-buku hadis Musnad.
Periode
ini, masa yang paling sukses dalam pembukuan hadis, sebab pada masa ini ulama hadis
telah berhasil memisahkan hadis Nabi dari yang bukan hadis atau dari hadis Nabi
dari perkataan sahabat dan fatwanya dan telah berhasil pula mengadakan
filterisasi (penyaringan) yang sangat teliti apa saja yang dikatakan Nabi,
sehingga telah dapat dipisahkan mana hadis yang shahih dan mana yang bukan
shahih. Seolah-olah pada abad ini hampir seluruh hadis telah terhimpun ke dalam
buku, hanya sebagian kecil saja dari hadis yang belum terhimpun. Dan yang
pertama kali berhasil membukukan hadis shahih adalah Al-Bukhari, kemudian
disusul Imam Muslim. Oleh karena itu, pada periode ini juga disebut masa
Kodifikasi dan Filterisasi (Ashr Al-jami’ wa At-Tashhih).
Pada
masa ini juga lahir para huffadz dan para pembesar kritikus hadis sekalipun
menghadapi fitnah dan ujian (mihnah) dari kaum Mu’tazilah seperti Ahmad bin
Hanbal, Ishaq bin Rahawaih, Ali bin Al-Madini, Yahya bin Ma’in, Muhammad bin
Muslim, Abu Abdullah Al-Bukhari, Muslim bin Al-Hajjaj, Abu Zar’ah, dan
lain-lain. Untuk menjawab tantangan dari ahli Kalam yang menyerang matan dan
sanad hadis dengan cercaan bahwa hadis tidak layak dijadikan hujah dalam Islam,
karena saling kontra antara satu dengan yang lain, Ibnu Qutaibah (w. 234 H)
menulis sebuah buku yang berjudul Ta’wil Mukhtalif Al-Hadits sebagai jawabannya.
5. PERIODE SETELAH TABI’IN
Pada
masa abad ini disebut Penghimpunan dan Penertiban. Ulama yang hidup pada abad
ke- 4 H dan berikutnya disebut Ulama muta’akhirin atau khalaf, sedangkan yang
hidup sebelum abad ke- 4 H disebut ulama mutaqaddimin atau ulama salaf. Pada
abad ini dan berikutnya tidak banyak penambahan Hadis.[2]
B.
Penulisan
dan Penghafalan Hadist
1.
HADITS
PADA MASA RASULULLAH SAW. DAN PARA SAHABAT
Pada
periode Rasulullah saw.kodifikasi hadits belum mendapatkan perhatian yang
khusus dan serius dari para sahabat.para sahabat lebih banyak mencurahkan diri
untuk menulis dan menghafal ayat-ayat Al-Qur’an, meskipun dengan sarana dan
prasarana yang sanagat sederhana yaitu dengan cara menghafal serta
menghamalkannya. Penyusunan redaksi hadits dapat dilakukan dengan pemaknaan
saja tidak seperti Al-Qur’an yang harus dengan lafadznya. Sikap ini sejalan
dengan wahyu pertama yang diturunkan oleh Allah swt. Kepada beliau, yaitu surat
al-Alaq ayat 1-5 yang intinya adalah perintah untuk membaca.
Di
antara sikap Rasulullah saw. Terhadap ilmu pengetahuan adalah: Seruhan
Rasulullah saw. Untuk mencari ilmu, seruhan Rasulullah saw. Menyampaikan ilmu,
kedudukan orang yang mengajarkan ilmu pengetahuan [‘ulama], kedudukan orang
yang mencari ilmu, dan wasihat atau pesan Rasulullah saw Untuk menyebarluaskan
ilmu pengetahuan. Penulisan hadits pada masa Rasulullah saw. Bersifat
individual. Itulah sebabnya tidak semua hadits yang mereka tulis, melainkan
hadits-hadits yang dipandang terlalu panjangdan spesifik.itulah sebabnya ketika
Abu Bakar mengintruksikan untuk memerangi kaum murtad. Kemudian hadits yang
panjang- panjang pun selalu di tulis oleh para sahabat, seperti hadits tentang
ketentuan zakat, oleh karna itu Umar ibn Khattab dikenal dengan julukan bapak
pengarsipan dokuman.
Di samping itu pola dakwa Rasulullah
diakhir hayatnya berubah, tidak lagi menggunakan oral [lisan] sebagai medianya,
melainkan berganti pola menjadi pola tulisan. Hal ini dapat dibuktikan ajakan
Rasulullah menujuh keislaman kepada para pengguasa Romawi, IIIayah, Bizantium,
Persia, Najasi, dan lainnya. Singkat kata, setelah sahabat mulai pandai tulis
menulis, dan dapat membedakan antara
firman Allah dengan sabda Nabi, maka gerakan penulisan begitu merak, sehingga
pada akhirnya Nabi berwasiat:Saya tinggalkan dua tumpukan tulisan ini, yaitu
tumpukan tulisan Al-Qur’an dan tumpukan tulisan haduts.
Apabila kodifikasi berupa mushaf,
memang baru terjadi pada khalifah Abu Bakar, namun kodifikasi hadits yang resmi
menurut pendapat yang masyhur terjadi pada masa khalifah Umar ibn Adbul Aziz
[99-102H]. Meskipun secara khusus hadits belum mendapatkan perhatian yang
serius, namun kegiatan periwayatanhadits sudah mulai berkembana walaupun
jumlahnya yang masih sedikit.[3]
2.
HADITS
PADA MASA KODIFIKASI
Seirimg
dengan program khlifah Umar ibn Khattab meluaskan peta dakwah islam, dan
membuat sahabat terpencar ke berbagai wilayah. Sehingga di berbagai wilayah
bermunculan Islamic centre sebagai pusat kajian Al-Qur’an dan hadits. Pasca
wafatnya Umar ibn Khattab, kebijakan itu dilanjutkan oleh Khalifah Utsman ibn
Affan dan Ali ibn Abi Thalib, sehingga untuk menguasai hadits-hadits Nabi pada
waktu itu tidaklah mudah.
Pada
masa inilah lahir para ulama madzhab, sehingga tidak mustahil saat ditanya suatu
persoalan, mereka belum menemukan hadits yang spesifik, dengan terpaksa mereka
menjawab menggunakan pendekatan ijtihad murni yang dampaknya bisa benar maupun
salah. Imam Ahmad dikenal getol dalam menghimpun hadits, numun Imam Maliki
justru hanya mengandalkan hadits-hadits yang masih tersisa di kalangan ulama
Madinah.
Sebenarnya
jauh sebelumnya, ketika Umar ibn Abdul Aziz sebagai khalifah ke-8 dinasti
umaiyah telah memerintahkan al-Zuhri menghimpun hadits ulama tonggak awal
pengkodifikasian hadits secara resmi. Di bawah kekuasaan khalifah Umar ibn
‘Abdul Aziz merasa perlu pembukuan hadits oleh para sahabat. Keadaan ini
membuat khalifah Umar ibn Abd al-Aziz tergerak untuk membukukan hadits. Untuk
merealisasikan kenyataan, khalifah menyuruh atau mengintruksikan kepada
gubernur Madinah, Abu Bakar ibn Muhammad ibn Amr ibn Hazm untuk mengumpulkan
hadits yang ada padanya dan pada tabi’in muncul kodifikatorwanita, ‘Amrah binti
‘Abdrrahman, seorang ahli fiqh murid ‘Aishah.
Khalifah
juga mengirimkan surat-suratnya ke seluruh wilayah islam agar dapat membukukan
hadits yang ada pada ulama yang berdomisili di wilayah mereka masing-masing.
Ulama besar yang membukukan hadits atas kemauan khalifah yaitu, Ibn Shihab
al-Zuhri. Itulah sebabnya para ahli sejarah menganggap Ibn Shihab sebagai orang
yang pertama mendiwankan hadits secara resmi atas perintah khalifah Umar ibn
Abdul Aziz.
Munculnya
tradisi perlawatan-perlawatan untuk mencari hadits ini sangat penting artinya,
sebab pada masa itu telah mulai banyak beredarnya hadits palsu. Dengan
demikian, pencarian yang dilakukan itu bukan hanya semata-mata untuk
mendapatkan hadits tetapi juga sekaligus untuk menghindari terjadinya hadits
palsu yang diriwayatkan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab.[4]
3.
HADITS
PADA MASA PASCA KODIFIKASI
Satu
hal yang perlu dicatat dari upaya pembukuan hadits tahap awal masih
bercampurnya antara hadits Nabi saw. dengan berbagai fatwa sahabat dan tavi’in.
Hanya catatan Ibn Hazm yang secara khusus menghimpun hadits Nabi saw. Karna
khalifah Umar ibn ‘Abdul Aziz mengintruksikan kepadanya untuk hanya menulis
hadits.
a.
Kitab-kitab
hadits yang terkenal pada abad ini antaranya:
1)
Muwatta’
karya Imam Maliki,
2)
Musnad
dan
3)
Mukhtalif
Hadits karya al-Syafi’i.
Selanjutnya , pada permulaan abad ke-
3 H, para ulama’ berusaha untuk memilah atau menyisihkan antara hadits dengan
fatwa sahabat dan tabi’in. Ulama’ hadits berusaha untuk membukukan hadits Nabi
saw. secara mendiri, tanpa mencampurkan fatwa sahabat dan tabi’in. Karena
ulama’ hadits banyak menysun kitab-kitab musnad yang bebas dari fatwa sahabat
dan tabi’in.
Meskipun
demikian, upaya untuk membukukan hadits dalam sebuah kitab musnad ini bukan
tanpa kelemahan. Ulama hadits tergerak untuk menyelamatkan hadits dengan
membuat kaidah-kaidah dan syarat-syarat untuk menilai kesahihan suatu hadist.
Dengan adanya kaidah-kaidah dan syarat-syarat, kemudian lahirlah yang disebut
dengan ilmu dirayah hadits yang sangat banyak cabangnya, di samping juga ilmu
riwayat hadits.
Konsekwensi dari pemilahan hadits
shahih, hasan, dhaif, dan palsu, maka disusunlah kitab-kitab himpunan khusus
hadits shahih dan kitab-kitab al-sunan.
Periwayatan
hadits yang melahirkan sejumlah karya monumental dalam bidang hadits, seperti:
a.
Shahih
al-Bukhari,
b.
Shahih
Muslim,
c.
Sunan
Abu Dawud,
d.
Sunan
al-Turmudzi,
e.
Sunan
al-Nasa’iy
f.
Dan
lainnya.
Hal yang dapat diamati dari
perkembangan hadits pada abad ini adalah mulai berkembangnya ilmu kritik
terhadap para perawi hadits yang disebut ilmu jarh wa ta’dil.
Tokoh-tokoh
hadits yang lahir pada abad ini di antaranya:
Ali
ibn al-Madani, Abu Hatim al-Razi, Muhammad ibn Jarir al-Tabari, Muhammad ibn
Sa’ad, Ishaq ibn Rahawaih, Ahmad, al-Bukhari, Muslim, al-Nasa’iy, Abu Dawud, al-Turmudzi,
Ibn Maiah, Ibn Qutaybah, al-Dainuri.
Pada abad pertama, kedua dan ketiga,
hadits berturut-turut mengalami masa periwayatkan, penulisan dan penyaringan
dari fatwa-fatwa para sahabat dan tabi’in. hadits yang telah dibukukan oleh
ulama’ mutaqaddimin [ulama’ abad 1 smpai 3 H dihafal dan diselidiki sanadnya
oleh ulama’ muta’akhirin [ulama’ abad keempat dan seterusnya].
Sejak
periode inilah timbul bermacam-macam gelar keahlian dalam hadits seperti:
al-hakim,
al-hafidz, dan sebagainya.
Secara kongkret, Hasbi ash-Shidiqiey
menyebut abad ini sebagai abad tahzib, istidrak, istikhraj, menyusun jawami’,
zawa’id dan athraf.pada masa ini lahirlah kitab hadits-hadits hukum, seperti
sunan al-kubra karya al-Bayhaqi, Muntaqa al-Akhbar karya al-Harrany dan Nayl
al-Autar karya al-Shaukani. Serta lahir kitab hadits-hadits al-Targhib wa al-
Tarhib, seperti al-Targhib wa al-Tarhib karya al-Mundhiri, Dalil al-Falihin
karya Ibn’ Allah al-Siddiqi yang menjadi syarah kitab Riyadu al-Salihin karya
al-Nawawi.
Kemudian muncul kitab Miftah kunuz al-Sunnah karya A.J.Wensinc.
kitab index tematik hadits ini memuat 14 macam kitab hadits, baik Mu’jam
al-Mufahras maupun Miftah Kunuz al-Sunnah ini telah disalin ke dalam bahasa
arab oleh Muhammad Fu’ad ‘Abdul Baqi.
Dengan demikian, kajian hadits telah
meliputi berbagai aspek, dari sisi sanad sampai kepada matan hadits. Paparan
ini sekaligus meluruskan tudingan miring pemikiran barat bahwa ulama hadits hanya
disibukan meneliti sanad hadits.[5]
[3] Tim Penyusun
MKD IAIN Sunan Ampel Surabaya, Studi Hadist,(Surabaya: IAIN Sunan Ampel
Press, 2011), hlm 86-88.
SEJARAH PEMBINAAN DAN PENGHIMPUNAN HADIST
Reviewed by Mohammad Al-Qodhi Abi
on
8:55:00 PM
Rating:
No comments:
SMOGA BERMANFAAT