Search This Blog

islam secara tekstual dan kontekstual

BAB I
PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang Masalah
Pada masa kita yang modern ini keluasan ilmu pengetahuan mulai bertambah luas dan semakin beraneka ragam topiknya, hal itu dikarenakan kelebihan metode-metode yang diciptakan oleh manusia dalam menyingkap realitas-realitas melalui observasi, analisa, komparasi, penggunaan teleskop, mikroskop, alat-alat eksperimen dan keberanian melakukan eksperimen sehingga hal itu memungkinkan sampai pada teori-teori, hukum-hukum, ilmu-ilmu pengetahuan dan spesialisasi-spesialisasi yang sebelumnya belum pernah dijumpai didalam pengetahuan-pengetahuan ilmuwan-ilmuwan dan analisis yang mendahuluinya. Contohnya saja al-Qur’an yang mampu mengumpulkan gudang-gudang ilmu yang bermanfaat disamping ia sebagai undang-undang dasar yang menunjukkan kepada jalan yang lurus dan bahwasanya mengikuti al-Qur’an secara tekstual dan spiritual adalah sarana praktis yang menghantarkan kepada dunia dan akhirat.
Sebagai kitab suci umat Islam, Al-Qur’an sudah mengalami begitu banyak tafsir dari para ulama sehingga menimbulkan keragamanan pandangan atas teks-teks yang tersurat dalam Al-Qur’an. Karenanya, untuk memahami sejumlah tafsir tersebut secara baik dan komprehensif, diperlukan metodologi studi Al-Qur’an, yakni ilmu untuk menelusuri kebenaran dengan cara tertentu, dengan memegang prinsip keteraturan, sebab-sebab, dan pengalaman yang bisa diamati [empirisme].
Berlanjut pada perbedaan penafsiran Al-Qur’an. Yang satu hendak menghampirinya secara harafiah-tekstual, sementara yang lain mendekatinya secara siyaqiyah-kontekstual. Dalam kaitan itu, lalu disusun sejumlah metodologi pembacaan dan penafsiran teks Al-Qur’an.Kelompok tekstual berpendapat bahwa semakin harfiah seseorang di dalam menafsirkan, maka semakin dekat dia pada kebenaran.Ini menurut kelompok tekstualis, karena Al-Qur’an sebagai firman Allah berupa huruf dan aksara.Sedangkan menurut kelompok kontekstualis, karena Al-Qur’an turun dalam konteks yang spesifik maka peran sabab al-nuzul adalah mutlak.Semakin seseorang faham pada konteks yang menyertai kehadiran Al-Qur’an, maka dia semakin dekat pada kebenaran.Yang dilupakan dari dua kelompok ini adalah dimana posisi maqashid al-syari`ah (nilai-nilai etis Al-Qur’an) yang mendasari seluruh ayat-ayat Al-Qur’an, jika Al-Qur’an diposisikan hanya sebagai deretan huruf atau gugusan konteks partikularnya.Dalam kaitan itu, dibutuhkan sebuah kerangka metodologi yang bisa merawat maqashid al-syari`ah tersebut.
Embrio munculnya tafsir yang berorientasi tekstual dan kontekstual, sebenarnya telah ada sejak masa Nabi Muhammad SAW. Kasus-kasus ijtihad yang dilakukan oleh para sahabat Nabi, misalnya Umar bin Khattab, dapat dijumpai dan terutama ia menimbulkan kesan perdebatan. Perdebatan terjadi antara kelompok yang berorientasi pada makna harfiah teks dengan yang berorientasi pada makna kontekstual teks.Dua orientasi tafsir yang berkembang dalam sejarah studi Al-Qur’an bertolak pada pendekatan yang digunakan masing-masing tafsir. Yang dimaksud pendekatan di sini adalah titik pijak keberangkatan dalam proses penafsiran. Titik pijak ini menentukan corak tafsir. Titik pijak yang berbeda akan melahirkan corak tafsir yang berbeda. Tetapi, titik pijak yang sama bisa saja melahirkan corak tafsir yang berbeda, yakni tafsir tekstual dan tafsir kontekstual.
Oleh karena itu, sebagaimana latar belakang yang telah dipaparkan di atas, dalam makalah ini kami akan membahas tentang bab Pendekatan Metode yang Tekstual dan Kontekstul  sesuai dengan pengetahuan dan pemahaman kami.
  1. Rumusan Masalah
  1. Bagaimana model pemahaman islam secara tekstual?
  2. Bagaimana model pemahaman islam secara kontekstual?
  1. Tujuan Penulisan
  1. Untuk mengetahuimodel pemahaman islam secara tekstual.
  2. Untuk mengetahuimodel pemahaman islam secara kontekstual.
BAB II
PEMBAHASAN

  1. Model Pemahaman Islam Secara Tekstual
Disebut metode tekstual karena ia menekankan signifikansi teks-teks sebagai sentra kajian Islam dengan merujuk kepada sumber-sumber suci (pristine sources) dalam Islam, terutama al-Qur’an dan Hadits. Pendekatan ini sangat penting ketika kita ingin melihat realitas Islam normatif yang tertulis, baik secara eksplisit maupun implisit, dalam kedua sumber suci di atas.Selain al-Qur’an dan Hadits, kajian tekstual juga tidak menafikan eksistensi teks-teks lainnya sebagaimana ditulis oleh para intelektual dan `ulama’ besar Muslim terdahulu dan kontemporer.
Pendapat lain mengatakan metode tekstual adalah suatu model pemahaman yang berpegang pada formal teks, berpedoman pada tradisi yang terbentuk dimasa silam dan mengikatkannya secara ketat serta menganggap ajaran islam yang mereka yakini sebagai suatu kebenaran mutlak yang tidak perlu dirubah lagi karena secara otoritatif telah dirumuskan oleh para ulama’ terdahulu secara final dan tuntas, mereka kurang suka dengan perubahan karena hawatir menimbulkan keresahan yang mengancam integrasi umat, karena itu dalam merespon tiap perubahan, model pendekatan ini terkesan hati hati (untuk tidak mengatakan lamban) dan selalu menempatkan konsep “Almuhafadatu ala al qodim  as soleh  wal ahdu bil jadidil aslah”  pada posisi bagaimana benang tak terputus dan tepung tak terserak.
Dalam aplikasinya, pendekatan tekstual barangkali tidak menemui kendala yang cukup berarti ketika dipakai untuk melihat dimensi Islam normatif. Persoalan baru muncul ketika pendekatan ini dihadapkan pada realitas ibadah umat Islam yang tidak tertulis secara eksplisit, baik di dalam al-Qur’an maupun Hadits, namun kehadirannya diakui dan, bahkan, diamalkan oleh komunitas Muslim tertentu secara luas. Contoh yang paling nyata adalah adanya ritual tertentu dalam komunitas Muslim yang sudah mentradisi secara turun-temurun seperti slametan (tahlilan atau kenduren).
Cukup dilematis, memang, bagi pendekatan tekstual untuk sekedar menjustifikasi bahwa ritual-ritual tersebut merupakan bagian dari ajaran Islam atau tidak.Sebagai bagian dari diskursus akademis, tujuan mengkaji ritual-ritual populer dalam Islam memang bukan untuk membuktikan apakah mereka merupakan bagian dari ajaran Islam atau tidak.Diskursus semacam ini tentu saja sudah out of date untuk tetap dikedepankan dalam konteks analisis ilmiah-akademis dan, oleh karenanya, tidak perlu dipertahankan dalam tradisi intelektual.Sebaliknya, yang menjadi concern akademis di sini adalah bagaimana menempatkan ritual populer tersebut dalam kerangka proporsional yang tidak berbuntut klaim atau pembenaran sepihak.
metode tekstual setidaknya dapat diberikan ciri-ciri berikut:
  1. Banyak melakukan pengkajian nahwiyah atau bacaan yang berbeda-beda (strukturalis)
  2. Melakukan pengkajian asal-usul bahasa dengan melansir syair-syair Arab (heruistik dan hermeneutik)
  3. Banyak mengandalkan cerita atau pendapat sahabat dalam menafsiri makna lafal yang sedang dikaji (riwayat)
Menurut M.Quraish Shihab, pendekatan ini mempunyai keistimewaan dan kelemahan sebagai berikut:
  1. Keistimewaannya antara lain:
  1. Menekankan pentingnya bahasa dalam memahami Al-Qur’an
  2. Memaparkan ketelitian redaksi ayat ketika menyampaikan pesan-pesannya
  3. Mengikat mufasir dalam bingkai teks ayat-ayat, sehingga membatasinya terjerumus dalam subjektivitas yang berlebihan
  1. Kelemahannya antara lain :
  1. Terjerumusnya sang mufasir dalam uraian kebahasaan dan kesusastraan yang bertele-tele, sehingga pesan pokok Al-Qur’an menjadi kabur di celah uraian itu.
  2. Seringkali konteks turunnya ayat (uraian asbab al-nuzul atau sisi kronologis turunnya ayat-ayat hukum yang dipahami dari uraian nasikh mansukh) hampir dapat dikatakan terabaikan sama sekali. Sehingga, ayat-ayat tersebut bagaikan turun bukan dalam satu masa atau berada di tengah masyarakat tanpa budaya.
  1. Model Pemahaman Islam Secara Kontekstual
Yakni metode yang menjadikan rasio atau akal manusia sebagai alat yang paling dominan dalam memperoleh pengetahuan dan pemahaman atas pelbagai  ajaran islam, karena itu seluruh teks teks wahyu harus dibedah secara kontekstual, kritis, logis dan rasional.
Model kontekstualis menurut Harun Nasotion dapat diartikan sebagai  sebuah manhaj fikir yang memahami agama Islam sebagai organisme yang hidup dan berkembang sesuai dengan denyut nadi perkembangan manusia, karena itu didalam menafsirkan teks teks suci mereka menggunakan penafsiran yang kontekstual, substansial dan non literal.
Karakteristik yang paling nampak dalam model ini meliputi : Penekanan pada semangat religio etik,  bukan  pada  makna literal sebuah teks, manhaj yang dikembangkan mereka adalah penafsiran islam berdasarkan semangat dan spirit teks, memahami latar teks secara kontekstual, substansial dan non literal, menurut mereka hanya dengan model tersebut, Islam akan  hidup survive dan berkembang secara kreatif menjadi bagian dari “peradaban manusia” universal. Karena itu bagi mereka  pintu ijtihad mesti dibuka pada semua bidang sehingga memungkinkan Islam mampu menjawab persoalan kemanusiaan yang terus berubah, penutupan pintu ijtihad (baik secara terbatas atau secara keseluruhan) adalah ancaman atas islam itu sendiri, sebab dengan demikian islam akan  mengalami pembusukan.
Adapun ciri-ciri metode kontektual yaitu :
  1. Memahami Al-Qur’an dalam konteksnya serta memproyeksikannya kepada situasi masa kini. Kerangka konseptual pertama ini mencakup dua langkah pokok
  1. Memahami Al-Qur’an dalam konteks, meliputi :
  1. Pemilihan obyek penafsiran, yaitu satu tema atau istilah tertentu dan mengumpulkan ayat-ayat yang bertalian dengan tema atau istilah tersebut dengan bantuan indeks Al-Qur’an.
  2. Mengkaji tema atau istilah tersebut dalam konteks kesejarahan pra-Qur’an dan pada masa Al-Qur’an.
  3. Mengkaji respon Al-Qur’an sehubungan dengan tema atau istilah itu dalam urutan kronologisnya, dengan memberikan perhatian khusus kepada konteks sastra ayat-ayat Al-Qur’an yang dirujuk, juga melibatkan asbab al-nuzul yang telah teruji keontetikannya. Dari kajian ini akan dapat disimpulkan bagaimana Al-Qur’an menangani tema atau istilah tersebut dan bagaimana keduanya berkembang di dalam Al-Qur’an.
  4. Mengaitkan pembahasan tema atau istilah tersebut dengan  tema atau istilah lain yang relevan.
  1. Memproyeksikan  pemahaman Al-Qur’an dalam konteksnya, yakni yang diperoleh lewat langkah pertama di atas, kepada situasi kekinian. Sebelum proyeksi dilakukan, kajian mengenai situasi kekinian yang berkaitan dengan tema atau istilah yang dibahas harus dilakukan terlebih dahulu.
Contoh Tafsir Kontekstual
Dalam Al-Qur’an surat An-Nisa’yang kerap dikutip sebagai dalil untuk mengabsahkan praktik poligami adalah :

وَإِنْخِفْتُمْأَلاتُقْسِطُوافِيالْيَتَامَىفَانْكِحُوامَاطَابَلَكُمْمِنَالنِّسَاءِمَثْنَىوَثُلاثَوَرُبَاعَفَإِنْخِفْتُمْأَلاتَعْدِلُوافَوَاحِدَةًأَوْمَامَلَكَتْأَيْمَانُكُمْذَلِكَأَدْنَىأَلاتَعُولُوا (٣)

“Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”
Yang diinginkan Al-Qur’an sesungguhnya bukan praktek beristri banyak.Praktek ini tidak sesuai dengan harkat yang telah diberikan Al-Qur’an kepada wanita. Status wanita yang selama ini cenderung dinomor duakan akan menjadi semakin kuat jika praktek poligami tetap diberlakukan. Al-Qur’an menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan punya kedudukan dan hak yang sama. Maka pernyataan Al-Qur’an bahwa laki-laki boleh punya istri sampai empat orang hendaknya dipahami dalam nuansa etisnya secara komprehensif.Ada syarat yang diajukan oleh Al-qur’an, yaitu menyangkut keadilan dalam rumah tangga.
Untuk memahami pesan Al-Qur’an, penelusuran sosio-historis hendaknya dilakukan. Masalah ini muncul berkenaan dengan para gadis yatim yang dalam ayat sebelumnya disebutkan, yaitu dalam surat An-Nisa’ ayat 2 :

وَآتُواالْيَتَامَىأَمْوَالَهُمْوَلاتَتَبَدَّلُواالْخَبِيثَبِالطَّيِّبِوَلاتَأْكُلُواأَمْوَالَهُمْإِلَىأَمْوَالِكُمْإِنَّهُكَانَحُوبًاكَبِيرًا (٢)

“Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu Makan harta mereka bersama hartamu.Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar.”
Ayat di atas melarang keras para wali untuk memakan harta anak yatim. Setelah penekanan  kemudian Al-Qur’an membolehkan para wali untuk mengawini mereka sampai empat orang. Tetapi menurut Rahman, ada satu prinsip yang sering diabaikan oleh ulama dalam hal ini, yaitu : “kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri (mu), walaupun kamu sangat ingin berlaku demikian”  (QS. Al-Nisa’4:129). Dan terdapat juga pada potongan ayat 3 “jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja”.
Dari ayat-ayat tersebut disiratkan suatu makna bahwa sikap adil itu mustahil dijalankan oleh seorang laki-laki (suami) terhadap masing-masing istrinya.Jadi, pesan terdalam Al-Qur’an tidak menganjurkan poligami.Ia justru memerintahkan sebaliknya, monogami (hidup yang umumnya disepakati oleh dua belah pihak, laki-laki dan perempuan). Itulah ideal moral yang hendak dituju Al-Qur’an.[24]
Kelebihan Dan Kekurangan Tafsir Kontekstual
Setiap corak tafsir tentunya memiliki kelebihan dan kekurangan yang tak bisa dipungkiri, karena memang itulah keterbatasan ilmu manusia yang hanya sedikit sekali ilmu yang diberikan oleh Allah bahkan digambarkan hanya setetes air yang ada di lautan, begitu juga tafsir kontekstual kelebihan dan kekurangannyaadalah sebagai berikut :
         Adapun kelebihan-kelebihan metode kontekstual, diantaranya:
  1. Mempertahankan semangat keuniversalan Al-Qur’an, sebab dengan penafsiran kontekstual maka nilai-nilai yang terkandung di dalamnya akan tetap sejalan dengan perkembangan zaman.
  2. Metode tafsir kontekstual merupakan sintesa dari metode analitis, tematik, dan hermeneutika. Sebab metode analitis diperkaya dengan sumber tradisional yang memuat substansi yang diperlukan bagi proses penafsiran, metode tematik diunggulkan dengan kemampuannya meramu ayat-ayat Al-Qur’an dalam satu tema dan mengaktualisasikannya, tafsir hermeneutika titik penekanannya adalah kajian kata dan bahasa, sejarah, sosiologi, antropologi dan sebagainya sebagai alat bantu yang penting dalam menafsirkan Al-Qur’an. Sehingga wajar bila tafsir kontekstual dianggap sebagai gabungan dari metode-metode tersebut.
  3. Metode tafsir kontekstual akan membuka wawasan berpikir serta mudah dipahami sebab banyak data yang ditampilkan namun penyampaiannya tetap sesuai dengan konteks pemahaman audiens.
Adapun kelemahan-kelemahan tafsir kontekstual, itu sangat terkait dengan kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh penafsir itu sendiri yang berdampak pada kualitas penafsirannya. Diantara kelemahan tersebut adalah:
  1. Hasil penafsiran kontekstual terkadang didahului oleh interest pribadi dan dorongan hawa nafsu karena adanya pintu penyesuaian nilai-nilai Al-Qur’an dengan kondisi masyarakat. Tentu dengan keterbukaan tersebut memancing seseorang untuk menafsirkanAl-Qur’an sesuai dengan seleranya yang pada akhirnya penafsiran yang ia lahirkan sifatnya mengada-ada.
  2. Dengan semangat tafsir kontekstual terkadang melahirkan ketergesa-gesahan menafsirkan ayat yang merupakan otoritas Allah untuk mengetahui maknanya.
  3. Usaha tafsir kontekstual terkadang menitikberatkan sebuah penafsiran pada satu aspek misalnya aspek kondisi sosial semata tanpa melihat aspek-aspek yang lain termasuk bahasa, asbab nuzul, nasikh mansukh,dan lain sebagainya. Sehingga penafsiran tersebut menyimpang dari maksud yang diinginkan.
  4. Tafsir kontekstual memotivasi seseorang untuk cepat merasa mampu menafsirkan Al-Qur’an sekalipun syarat-syarat mufasir belum terpenuhi.
BAB III
PENUTUPAN

  1. Kesimpulan
Metode tekstual adalah suatu model pemahaman yang berpegang pada formal teks, berpedoman pada tradisi yang terbentuk dimasa silam dan mengikatkannya secara ketat serta menganggap ajaran islam yang mereka yakini sebagai suatu kebenaran mutlak yang tidak perlu dirubah lagi karena secara otoritatif.
Sedangkan metode yakni metode yang menjadikan rasio atau akal manusia sebagai alat yang paling dominan dalam memperoleh pengetahuan dan pemahaman atas pelbagai  ajaran islam, karena itu seluruh teks teks wahyu harus dibedah secara kontekstual, kritis, logis dan rasional.







DAFTAR ISI

Shihab Quraish, Shihab.1997.  Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Pesan Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat . Bandung: Mizan.
Syafrudin.2009. Paradigma Tafsir Tekstual & Kontekstual.Yogyakarta : Pustaka Pelajar.


islam secara tekstual dan kontekstual  islam secara tekstual dan kontekstual Reviewed by Mohammad Al-Qodhi Abi on 10:24:00 PM Rating: 5

Post Comments

Powered by Blogger.